BPS: Jumlah Rakyat Miskin Indonesia Meningkat

Pemerintah gagal mencapai target penurunan tingkat kemiskinan pada tahun 2014. Kegagalan tersebut terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2015.

”Hasil pemeriksaaan BPK atas pengelolaan program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat mencapai target penurunan tingkat kemiskinan tahun 2014,” kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di DPR.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2015 bersama Laporan Hasil Pemeriksaan BPK periode 1 Juli hingga 31 Desember 2015 diserahkan Harry kepada pimpinan DPR dalam forum Rapat Paripurna Ke-24 DPR Masa Sidang IV Tahun Sidang 2015-2016, Selasa (12/4), di gedung DPR, Jakarta.

Menurut Harry, penyebab kegagalan itu kebijakan mengenai pengelolaan database penduduk miskin belum tepat. Di sisi lain, sasaran dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tidak jelas.

Faktor lain lagi adalah belum tersediannya data dan informasi tentang pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang layak menerima kredit usaha rakyat (KUR),” tutur Harry.

Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), per September 2014, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dibanding total penduduk. Angka itu berkurang 550 ribu orang dibandingkan dengan posisi Maret 2014 sebanyak 28,28 juta jiwa, dan minus 870 ribu orang dibandingkan dengan hasil survei September 2013 yang mencapai 28,6 juta orang (11,46 persen).

Namun, menurut hasil survei BPS Maret 2015, jumlah orang miskin mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah 860 ribu orang dibanding posisi September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10.96 persen).

Di bagian lain, Harry mengungkapkan, selama semester II/2015, BPK menemukan 2.537 masalah berdampak finansial senilai Rp9,87 triliun. Itu, katanya, terdiri atas masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp710,91 miliar, potensi kerugian negara senilai Rp15 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp8 triliun.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan dan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Semester II/2015, BPK mengungkapkan 6.548 temuan yang memuat 8.733 masalah dan meliputi 6.558 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp11,49 triliun dan 2.175 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).

BPK memeriksa 704 objek pemeriksaan, terdiri atas 92 objek pada pemerintah pusat, 571 objek pemerintah daerah dan BUMD, serta 41 objek BUMN dan badan lain. Berdasarkan jenisnya, pemeriksaan terdiri atas 35 objek pemeriksaan keuangan, 277 pemeriksaan kinerja, dan 392 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

BPK melakukan pemeriksaan terhadap bidang-bidang pembangunan yang dilaksanakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hasil pemeriksaan atas pengelolaan program penanggulanan kemiskinan menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat mencapai target penurunan tingkat kemiskinan pada tahun 2014.

Pemeriksaan bidang pendidikan menunjukkan bahw­a pengelolaan tunjang­an profesi guru dan pe­la­yan­an pendidikan dalam pe­ngelolaan guru, buku kuri­kulum dan sarana prasa­ra­na belum efektif. Jumlah alokasi anggaran tunjangan profesi guru secara nasional belum sesuai dengan kebutuhan, sehingga pembayaran tunjangan profesi tidak tepat waktu dan menimbulkan tunggakan.

Hasil pemeriksaan atas program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengungkapkan bahwa penyelenggaraan program JKN belum benar-benar efektif dalam memberikan pelayanan kepada peserta. Pelaksanaan program rujukan sebagai salah satu bentuk dukungan pelaksanaan JKN di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) belum optimal.

Hasil pemeriksaan BPK atas 35 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2014, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas, satu LKPD, opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas 17 LKPD, opini tidak wajar (TW) atas satu LKPD dan opini tidak memberikan pendapat (TMP) atas 16 LKPD.

Sementara itu, untuk 504 LKPD 2014 telah dilaporkan pada IHPS I-2005. Dengan demikian, secara keseluruhan opini WTP LKPD 2014 berjumlah 252 LKPD (57%) yang meningkat dibandingkan dengan LKPD 2013 (30%). Namun, perlu diperhatikan bahwa pada 2015 pemerintah menghadapi tantangan penerapan basis akrual yang dapat memengaruhi kualitas laporan keuangan pemerintah.

Selain itu, BPK menemu­kan masalah kekurangan pe­nerimaan negara yang terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak rokok, dan denda administratif senilai Rp843,80 miliar dan dari pajak bumi dan bangunan (PBB) pertambangan sektor minerba dan PBB tubuh bu­mi sebesar Rp308,42 miliar.

Selanjutnya, pemeriksa­an atas perhitungan bagi hasil minyak dan gas pada SKK Migas menunjukkan antara lain terdapat biaya-biaya yang tidak semestinya dibe­bankan dalam cost recovery kontraktor kontrak kerja sa­ma (KKKS) senilai Rp4 triliun.

Harry memaparkan pula bahwa pada periode 2010-2014, BPK telah menyampai­kan 221.207 rekomendasi se­nilai Rp100,56 triliun ke­pa­da entitas yang diperiksa. Yang baru ditindaklanjuti 64% atau sebanyak 142.658 reko­mendasi. BPK juga telah me­nyampaikan temuan pe­me­rik­saan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang atau penegak hukum sebanyak 230 surat yang memuat 445 te­muan senilai Rp33,48 triliun.

”Keterbukaan dan tanggung jawab keuangan nega­ra telah mengalami perbaik­an dengan meningkatnya opini wajar tanpa pangecualian (WTP). Meski begitu, pemerintah harus terus-menerus meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara kita,” ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pengentasan kemiskinan tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu kementerian. Pengentasan kemiskinan harus dilakukan bersama-sama. (alf/sk)

0 Response to "BPS: Jumlah Rakyat Miskin Indonesia Meningkat"

Posting Komentar